Menjaga Rahasia
Allah ta’ala berfirman:
{وَأَوْفُوا بِالْعَهْدِ إِنَّ الْعَهْدَ كَانَ مَسْؤُولاً}
“Dan penuhilah janji, sesungguhnya
janji itu pasti diminta pertanggungan jawabnya.” (Al-Isra’: 34)
Dari Abu Sa’id Al-Khudri
radhiyallahu ‘anhu, dia berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam:
((إِنَّ مِنْ أَشَرِّ النَّاسِ عِنْدَ اللهِ مَنْزِلَةً يَوْمَ
الْقِيَامَةِ الرَّجُلَ يُفْضِي إِلَى الْمَرْأَةِ وَتُفْضِي إِلَيْهِ ثُمَّ
يَنْشُرُ سِرَّهَا)) رَوَاهُ مُسْلِمٌ.
“Termasuk orang yang paling jelek di
sisi Allah kedudukannya pada hari kiamat yaitu lelaki yang menggauli istrinya
dan istrinya menggaulinya, kemudian lelaki itu menyebarkan rahasianya.” (HR.
Muslim)
Dan rahasia adalah apa yang terjadi
secara sembunyi-sembunyi antara engkau dan temanmu, tidak halal bagimu untuk
menyebarkan rahasia ini atau menerangkannya kepada seorangpun, baik dia berkata
kepadamu: ‘jangan engkau beritahukan kepada seorangpun’, atau diketahui dari
qorinah (indikasi) perbuatan bahwa dia tidak suka untuk diketahui oleh
seorangpun, atau diketahui dengan indikasi keadaan bahwa dia tidak suka untuk
untuk diketahui oleh seorangpun.
Contoh yang pertama: ucapan, dia
berbicara dengan kamu tentang sebuah pembicaraan, kemudian dia berkata: ‘Jangan
engkau memberitahu seorangpun.” Rahasia itu bersamamu adalah amanah.
Contoh yang kedua: qorinah
(indikasi) perbuatan, dia berbicara kepadamu. Pada saat dia berbicara kepadamu,
dia menengok, kawatir ada seorang yang mendengar, karena arti dari dia menoleh
bahwa dia tidak suka untuk diketahui oleh seorang pun.
Contoh yang ketiga: qorinah
(indikasi) keadaan, perkara yang dia bicarakan atau kabarkan kepadamu ini
adalah termasuk perkara yang membuat malu untuk disebutkan atau ditakutkan
untuk disebutkan, atau yang semisalnya, maka tidak boleh bagimu untuk
memberitahukan dan menyebarkan rahasia ini.
Kemudian penulis -rahimahullah-
berdistidlal (mengambil dalil) untuk hal itu dengan firman Allah ta’ala:
{وَأَوْفُوا بِالْعَهْدِ إِنَّ الْعَهْدَ كَانَ مَسْئُولاً}
“Dan penuhilah janji, sesungguhnya
janji itu pasti diminta pertanggungan jawabnya.” (Al-Isra’: 34)
Maksudnya: bila kalian berjanji atas
sesuatu dengan lisanul hal (perbuatan yang menunjukkan kepada hal itu) atau
dengan lisanul maqol (perkataan), maka wajib atas kalian untuk memenuhi
perjanjian. Dan termasuk dari perjanjian syarat-syarat yang terjadi di antara
manusia dalam jual beli, ijarah (pengupahan), isti’jar (penyewaan), rahn
(gadai) dan lainnya. Maka sesungguhnya syarat-syarat ini termasuk perjanjian.
Demikian juga perjanjian yang
berlangsung antara kaum muslimin dan orang-orang kafir, maka wajib atas
kaum muslimin untuk memenuhinya. Dan perjanjian-perjanjian dari orang-orang
kafir, telah Allah jelaskan dalam Surat At-Taubah bahwa mereka terbagi menjadi
tiga jenis:
Jenis pertama: terus menerus mereka
memenuhi janji, dan mereka ini, wajib kita untuk memenuhi perjanjian dengan
mereka.
Jenis kedua: mereka membatalkan
perjanjian. Mereka ini, tidak ada perjanjian antara kita dan mereka, karena
mereka membatalkan perjanjian. Allah berfirman:
{أَلاَ تُقَاتِلُونَ قَوْمًا نَكَثُوا أَيْمَانَهُمْ وَهَمُّوا
بِإِخْرَاجِ الرَّسُولِ وَهُمْ بَدَءُوكُمْ أَوَّلَ مَرَّةٍ أَتَخْشَوْنَهُمْ
فَاللَّهُ أَحَقُّ أَنْ تَخْشَوْهُ إِنْ كُنْتُمْ مُؤْمِنِينَ}
“Mengapakah kamu tidak memerangi
orang-orang yang merusak sumpah (janjinya), padahal mereka telah keras
kemauannya untuk mengusir Rasul dan merekalah yang pertama mulai memerangi
kamu? Mengapakah kamu takut kepada mereka padahal Allah-lah yang berhak untuk
kamu takuti, jika kamu benar-benar orang yang beriman.” (At-Taubah: 13)
Jenis ketiga: mereka tidak
membatalkan perjanjian dan tidak jelas bagi kita bahwa mereka terus memenuhi
perjanjian itu, bahkan kita kawatir mereka mengkhianati dan membatalkan
perjanjian. Mereka inilah yang dikatakan Allah tentang mereka:
{وَإِمَّا تَخَافَنَّ مِنْ قَوْمٍ خِيَانَةً فَانْبِذْ
إِلَيْهِمْ عَلَى سَوَاءٍ إِنَّ اللَّهَ لاَ يُحِبُّ الْخَائِنِينَ}
“Dan jika kamu khawatir akan
(terjadinya) pengkhianatan dari suatu golongan, maka kembalikanlah perjanjian
itu kepada mereka dengan cara yang jujur. Sesungguhnya Allah tidak menyukai
orang-orang yang berkhianat. ” (Al-Anfal: 58)
Maksudnya: katakan kepada mereka:
“Tidak ada perjanjian antara kami dan kalian sampai urusannya jelas.”
Intinya bahwa seluruh apa yang
disyaratkan antara manusia, maka itu sesungguhnya termasuk perkara yang
diperjanjikan. Di antara hal itu kewajiban para pegawai untuk menunaikan
pekerjaan mereka, karena seorang pegawai harus berpegang dengan syarat-syarat
yang diajukan oleh pemerintah atas para pegawai, berupa hadir pada awal waktu
dan tidak keluar kecuali setelah selesai waktu, tulus dalam bekerja, dan yang
semisal hal itu dari perkara yang dikenal dalam kantor pelayanan.
Maka yang wajib adalah untuk
memenuhi perjanjian-perjanjian ini, jika tidak maka tinggalkan tugas dan engkau
bebas dalam apa yang kamu lakukan, karena tugas, engkau tidak terikat
dengannya. Bahkan engkaulah yang melakukan dan menugaskan. Maka wajib engkau untuk
memegangi konsekuensi syarat-syarat tugas pekerjaan ini dari segala sesuatu.
Jika tidak maka tinggalkan tugas pekerjaan itu dan jadilah orang yang bebas
sesuai yang engkau kehendaki, dan tidak ada seorang pun yang akan meminta
pertanggung jawaban kamu kecuali Allah ‘azza wa jalla.
Kemudian penulis menyebutkan hadits
Abi Sa’id Al-Khudi radhiyallahu ‘anhu bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam
bersabda:
((إِنَّ
مِنْ أَشَرِّ النَّاسِ عِنْدَ اللهِ مَنْزِلَةً يَوْمَ الْقِيَامَةِ)) رَوَاهُ
مُسْلِمٌ.
“Termasuk orang yang paling jelek di
sisi Allah kedudukannya pada hari kiamat.”
(أَشَرّ) adalah satu lughoh (dialek) yang jarang
dipakai, karena lughoh (dialek) yang banyak dipakai menghapus huruf hamzah.
Maka (خَيْر)
dan (شَرّ),
kebanyakan lughoh (dialek) menghapus huruf hamzah pada keduanya. Maka tidak
dinyatakan (أَخْيَر), dan tidak juga (أَشَرّ) melainkan sedikit. Namun hanya dinyatakan
(خَيْر)
dan (شَرّ).
Allah ta’ala berfirman:
{أَصْحَابُ الْجَنَّةِ يَوْمَئِذٍ خَيْرٌ مُّسْتَقَرًّا
وَأَحْسَنُ مَقِيلاً }
“Penghuni-penghuni surga pada hari
itu paling baik tempat tinggalnya dan paling indah tempat istirahatnya. ”
(Al-Furqan: 24)
Dan Allah ta’ala berfirman:
{فَسَيَعْلَمُونَ مَنْ هُوَ شَرٌّ مَّكَانًا وَأَضْعَفُ
جُنْدًا}
“Mereka akan mengetahui siapa yang lebih
jelek kedudukannya dan lebih lemah penolong-penolongnya” (Maryam: 75)
dihapus hamzah untuk (خَيْر) dan
(شَرّ),
namun penyebutannya (dengan hamzah) datang kadang-kadang berlandaskan sesuai
asalnya.
Di sini “Termasuk orang yang
paling jelek di sisi Allah kedudukannya pada hari kiamat yaitu lelaki yang
menggauli seorang wanita dan wanita itu menggaulinya,” maksud dengan hal
itu adalah istrinya, kemudian dia menyebarkan rahasia istrinya itu, atau si
istri juga menyebarkan rahasia suaminya. Lelaki itu berkata: “Aku melakukan
dengan istriku malam tadi demikian dan aku berbuat demikian”. Kita berlindung
kepada Allah (dari hal itu). Maka orang yang tidak menyaksikan kejadian itu
seakan menyaksikannya, seakan-akan orang itu berada antara suami istri itu di
ranjang. Kita berlindung kepada Allah (dari hal itu). Si suami memberitahu
orang itu dengan sesuatu rahasia yang istrinya tidak suka untuk diketahui oleh
seorang pun.
Atau si istri demikian juga, dia
memberitahukan kepada para wanita bahwa suaminya melakukan demikian demikian
dengan dia. Semua ini haram tidak boleh. Dan dia termasuk orang yang paling
jelek kedudukannya di sisi Allah pada hari kiamat.
Yang wajib urusan-urusan rahasia di
dalam rumah tangga dan di ranjang dan di selainnya agar dijaga, agar tidak diketahui
seorang pun selamanya. Sesungguhnya barangsiapa yang menjaga rahasia
saudaranya, Allah akan menjaga rahasianya. Dan balasan itu sesuai dengan
perbuatannya.
Dari Anas pembantu Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wasallam bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam
melewatinya saat Anas bermain dengan anak-anak kecil. Kemudian beliau memberi
salam kepada mereka, maksudnya memberi salam kepada anak-anak pada saat mereka
bermain-main, karena Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam adalah orang yang
paling baik akhlaknya. Sehingga biasa beliau melewati anak-anak kemudian beliau
memberi salam kepada mereka. Kemudian beliau memanggil Anas dan mengutusnya
dalam sebuah kebutuhan.
Sampai Anas pulang terlambat ke
ibunya. Ibunya adalah Ummu Sulaim, istri Abu Thalhah. Ketika Anas datang kepada
ibunya, ibunya bertanya: “Apa yang membuatmu terlambat?” Dia menjawab: “Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam mengirimku dalam sebuah kebutuhan”. Maksudnya:
beliau mengutusku dengan sebuah kebutuhan. Ibunya pun bertanya: “Apa kebutuhan
beliau?” Anas menjawab: “Aku tidak akan memberitahukan rahasia Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam.” Maka ibunya berkata: “Engkau janganlah
memberitahukan rahasia Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada
seorangpun.”
Kemudian Anas berkata kepada Tsabit
-Tsabit ini selalu menyertai Anas-: “Kalau aku memberitahukan kepada seseorang
tentang rahasia itu, sungguh aku akan mengabarimu.” Yaitu tentang kebutuhan yang Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengutus Anas
dengannya.
Dalam hadits ini ada banyak faedah:
Pertama: Baiknya akhlak Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan
ketawadhuannya yang sangat. Beliau dengan kemuliaan dan kedudukan serta
martabat beliau di sisi Allah dan di sisi makhluk, beliau tawadhu’ sampai
memberi salam kepada anak-anak pada saat mereka bermain-main di pasar. Siapakah
di antara kita yang melakukan demikian selain orang yang dikehendaki Allah.
Kedua: termasuk faedah hadits ini bahwa disunnahkan seseorang
agar dia memberi salam pada orang yang dia lewati, meskipun anak-anak. Karena
salam adalah sebuah doa yang engkau mendoakan kebaikan kepada saudaramu
dengannya. Engkau berkata: “Assalamu ‘alaika (Semoga keselamatan atasmu).” Dan
balasan dia adalah doa kepada Allah, dia berkata: “‘alaikas salam (semoga
atasmu keselamatan).” Dan karena kamu jika memberi salam kepada anak-anak,
engkau membiasakan mereka dengan tarbiyah (pengajaran) yang baik, hingga mereka
tumbuh dan hidup di atasnya, dan engkau mendapat pahala dalam setiap perkara
yang mereka mendapat petunjuk, bahkan dalam salam itu, maka setiap perkara
kebaikan yang manusia mendapatkan petunjuk dalam masalah itu denganmu, engkau
akan mendapatkan pahala di dalamnya.
Ketiga: bolehnya mengirim anak kecil dengan sebuah kebutuhan
dengan syarat anak kecil itu bisa dipercaya. Sedangkan jika dia tidak bisa
dipercaya dan anak kecil itu banyak bermain dan tidak peduli dengan
kebutuhan-kebutuhan, maka engkau tidak bisa mempercayainya.
Keempat: apa yang disebutkan oleh para ahli fikih -rahimahumullah-
bahwa anak kecil jika datang kepadamu dengan sebuah kebutuhan, dan dia berkata:
“Ini dari bapakku, ini dari ibuku”, dan yang semisalnya, maka engkau berhak
menerimanya, meskipun anak ini sendiri tidak kuasa untuk bersedekah dari
hartanya sedikitpun. Namun jika dia sebagai orang yang diutus, dan dia berkata:
“Ini dari bapakku”, misalnya dia membawa kurma, dia membawa semangka, atau
membawa sebuah pakaian, dengan apapun. Jika dia datang kepadamu maka terimalah
hal itu, dan janganlah engkau berkata: “Ini anak kecil, mungkin dia mencurinya,
kadang demikian, kadang demikian”, dengan menilai secara zhahir.
Kelima: memelihara ibu dan keluarga, bahwa seseorang jika ingin
memenuhi kebutuhan dan kawatir dia terlambat, hendaknya dia mengabarkan
keluarga jika kebutuhan itu tidak terluputkan dengan hal itu. Maksudnya: jika
engkau keluar dari keluargamu, sepantasnya engkau berkata: “Aku keluar ke arah
ini”, hingga mereka merasa tenang dan hati mereka tidak tersibukkan. Dan
seseorang itu tidak mengetahui, kadang dia pergi ke arah ini dan dia ditimpa
dengan sebuah kejadian atau sakit atau yang lainnya. Jika hal itu tidak
diketahui, maka perkaranya akan menjadi tidak jelas di sisi keluarganya. Maka
sepantasnya jika engkau ingin pergi ke suatu tempat yang tidak biasa, hendaklah
engkau memberitahu mereka dengan arah pergimu. Adapun tempat yang biasanya
seperti keluar ke masjid dan yang semisalnya, maka tidak apa-apa.
Misalnya: Jika engkau ingin pergi ke
suatu negeri yang dekat dengan negerimu, engkau mengatakan kepada mereka: “Hari
ini aku akan pergi ke tempat ini”, atau engkau ingin pergi rekreasi, maka
katakan: “Aku akan pergi rekreasi hari ini.” Maka engkau mengabari mereka agar
mereka merasa tenang.
Keenam: tidak boleh seseorang untuk menampakkan rahasia seseorang
walaupun kepada ibu dan bapaknya.
Kalau seseorang mengutusmu dalam
sebuah kebutuhan, kemudian bapakmu bertanya kepadamu: “Dengan perkara apa dia
mengutusmu?” Janganlah engkau memberitahu dia, meskipun dia adalah bapakmu.
Atau ibumu bertanya: “Dengan perkara apa dia mengutusmu?” Janganlah engkau
memberitahukan kepadanya, meskipun dia ibumu, karena ini termasuk rahasia
manusia, dan tidak boleh untuk menampakkannya kepada seorang pun.
Ketujuh: baiknya pengajaran Ummu Sulaim kepada anaknya, ketika dia
berkata: “Engkau janganlah memberitahukan rahasia Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam.” Dia mengatakan demikian kepada Anas -padahal dia Anas tidak
memberitahukan kepada ibunya dan tidak mengabarkan kepada selain ibunya-
sebagai penguatan dan pengokohan untuk Anas dan memberikan udzur untuk Anas,
karena Anas tidak mau memberitahu ibunya tentang rahasia Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam. Ibunya berkata: “Engkau janganlah memberitahukannya kepada
seorangpun.” Seakan dia berkata: “Aku menyepakatimu atas hal ini, maka
pegangilah ia!”
Kedelapan: Menampakkan kecintaan Anas kepada Tsabit, karena Tsabit
selalu menyertainya. Oleh karena itu engkau dapati Tsabit banyak meriwayatkan
dari Anas. Oleh karena ini, Anas berkata kepadanya: “Kalau aku memberitahukan
kepada seseorang tentang rahasia itu, sungguh aku akan mengabarimu.” Ini menunjukkan
kecintaan antara Anas dan muridnya Tsabit.
Demikian juga sepantasnya kecintaan
itu ada antara para murid dengan pengajar mereka secara timbal balik. Karena
jika tidak ada kecintaan antara murid dan guru, maka murid tidak akan menerima
apa yang dikatakan pengajarnya. Demikian juga pengajar tidak semangat mengajari
muridnya dan tidak banyak perhatian dengannya. Jika ada kecintaan antara mereka
secara timbal balik, maka akan diperoleh dengan hal ini kebaikan yang banyak.
0 komentar:
Posting Komentar