Minggu, 03 Mei 2015

Sudah mencukupi rukun syukur kita????

Para ulama menyebutkan bahwa rukun syukur ada tiga, yaitu I’tiraaf (mengakui), tahaddust (menyebutkan) dan Taat.

Al-I’tiraaf
Pengakuan bahwa segala nikmat dari Allah adalah suatu prinsip yang sangat penting, karena sikap ini muncul dari ketawadhuan seseorang. Sebaliknya jika seseorang tidak mengakui nikmat itu bersumber dari Allah, maka merekalah orang-orang takabur. Tiada daya dan kekuatan kecuali bersumber dari Allah saja. “ Hai manusia, kamulah yang berkehendak kepada Allah; dan Allah dialah yang Maha Kaya (Tidak memerlukan sesuatu) lagi Maha Terpuji” (QS Fathir 15).

Dalam kehidupan modern sekarang ini, orang-orang sekuler menyandarkan segala sesuatunya pada kemampuan dirinya dan mereka sangat menyakini bahwa kemampuannya dapat menyelesaikan segala problem hidup. Mereka sangat bangga terhadap capaian yang telah dirah dari peradaban dunia, seolah-olah itu adalah hasil kehebatan ilmu dan keahlian mereka. Pola pikir seperti sama dengan pola pikir para pendahulu mereka seperti Qarun dan sejenisnya. “ Sesungguhnya harta kekayaan ini, tidak lain kecuali  dari hasil kehebatan ilmuku” (QS Al-Qashash 78).

Dalam konteks manhaj Islam, pola pikir seperti inilah yang menjadi sebab utama masalah dan problematika yang menimpa umat manusia sekarang ini. Kekayaan yang melimpah ruah di belahan dunia barat hanya dijadikan sarana pemuas syahwat, sementara dunia Islam yang menjadi wilayah jajahannya dibuat miskin, menderita dan terbelakang. Sedangkan umat Islam dan pemerintahan di negeri muslim yang mengikuti pola hidup barat kondisi kerusakannya hampir sama dengan dunia barat tersebut bahkan mungkin lebih parah lagi.

I’tiraaf adalah suatu bentuk pengakuan yang tulus dari orang-orang beriman bahwa Allah itu ada, berkehendak dan kekuasaannya meliputi langit dan bumi. Semua mahluk Allah tidak ada yang dapat lepas dari iradah (kehendak) dan qudrah (kekuasaan) Allah.

At-Tahadduts
“Dan terhadap nikmat Tuhanmu, Maka hendaklah kamu siarkan” (QS Ad-Duhaa 11).

Abi Nadhrah berkata, “ Dahulu umat Islam melihat bahwa diantara bentuk syukur nikmat yaitu mengucapkannya”. Rasul saw. bersabda, “ Tidak bersyukur kepada Allah orang yang tidak berterima kasih pada manusia” (HR Abu Dawud dan At-Tirmidzi). Berkata Al-Hasan bin Ali, “ Jika anda melakukan (mendapatkan) kebaikan, maka ceritakan kepada temanmu”. Berkata Ibnu Ishak, “ Sesuatu yang datang padamu dari Allah berupa kenikmatan dan kemuliaan kenabian, maka ceritakan dan dakwahkan kepada manusia.

Orang beriman minimal mengucapkan hamdalah (Alhamdulillah) ketika mendapatkan kenikmatan sebagai refleksi syukur kepada Allah. Demikianlah betapa pentingnya hamdalah, dan Allah mengajari pada hamba-Nya dengan mengulang-ulang ungkapan Alhamdulillah dalam Al-Qur’an dalam mengawali ayat-ayat-Nya.

Sedangkan ungkapan minimal yang harus diucapkan orang beriman, ketika mendapatkan kebaikan melalui perantaraan manusia, mengucapkan pujian dan do’a, misalnya, Jazaakallah khairan (semoga Allah membalas kebaikanmu). Disebutkan dalam hadits Bukhari dan Muslim dari Anas ra, bahwa kaum Muhajirin berkata pada Rasulullah saw. ,”Wahai Rasulullah saw orang Anshar memborong semua pahala”. Rasul saw. bersabda,” Tidak, selagi kamu mendo’akan dan memuji kebaikan mereka” .

Dan ucapan syukur yang paling puncak ketika kita menyampaikan kenikmatan yang paling puncak yaitu Islam, dengan cara mendakwahkan kepada manusia.

At-Tha’ah
Allah menyebutkan bahwa para nabi adalah hamba-hamba Allah yang paling bersyukur dengan melaksanakan puncak ketaatan dan pengorbanan.  Dan contoh-contoh tersebut sangat nampak pada 5 Rasul utama, nabi Nuh as, nabi Ibrahiim as, nabi Musa as, nabi Isa as dan nabi Muhammad saw. Allah SWT. Menyebutkan tentang Nuh as. “Sesungguhnya dia (Nuh as) adalah hamba (Allah) yang banyak bersyukur (QS Al-Israa 3).

Dan lihatlah bagaimana  Aisyah ra menceritakan tentang ketaatan Rasulullah saw. Suatu saat Rasulullah saw. melakukan shalat malam sehingga kakinya terpecah-pecah. Berkata Aisyah ra.,” Engkau melakukan ini, padahal Allah telah mengampuni dosa yang lalu dan yang akan datang ?!.  Berkata Rasulullah saw, “ Tidak bolehkah aku menjadi hamba yang bersyukur ? “ (HR Muslim)

Dalam riwayat lain disebutkan dari Atha, berkata, aku bertanya pada ‘Aisyah, “ Ceritkan padaku sesuatu yang paling engkau kagumi yang engkau lihat dari Rasulullah saw .!” Aisyah berkata, “ Adakah urusannya yang tidak mengagumkan ! Pada suatu malam beliau mendatangiku dan berkata,” Biarkanlah aku menyembah Rabbku”. Maka beliau bangkit berwudhu dan shalat. Beliau menangis sampai airmatanya mengalir didadanya, kemudian ruku dan menangis, kemudian sujud dan menangis, kemudian mengangkat mukanya dan menangis. Dan beliau tetap dalam kondisi seperti itu sampai Bilal mengumandangkan adzan shalat” . Aku berkata, “ Wahai Rasulullah saw. apa yang membuat engkau menangis padahal Allah sudah mengampuni dosa yang lalu dan yang akan datang? “ Rasul saw. berkata,” Tidak bolehkah aku menjadi hamba Allah yang bersyukur ? (HR Ibnul Mundzir Ibnu Hibban, Ibnu Mardawaih dan Ibnu ‘Asakir ).
sumber : materi tamhidi (1.1.8.13.083 Syukur).

Related Articles

0 komentar:

Posting Komentar

PUSKOMDA NUSRA. Diberdayakan oleh Blogger.

Sample Text

Pages

Theme Support