Selasa, 28 April 2015

DILATASI SAINS INDONESIA

Berbicara mengenai pendidikan sains di Indonesia, ada hal besar yang harus kita analisis. Pendidikan sains berarti belajar dan mempelajari tentang ilmu-ilmu yang bersifat empiris dan ilmiah, seperti belajar ilmu matematika, fisika, kimia dan biologi. Tapi kemudian pertanyaan baru muncul, setelah mempelajari itu  semua, adakah aplikasi yang membawa manfaat untuk perkembangan Indonesia? Nyatanya, setelah berpuluh tahun Indonesia mengenal sains, Indonesia tetap mengekor bangsa lain yang notabene-nya sama-sama memiliki pendidikan sains? Contohnya saja, Indonesia masih mengimpor besar-besaran teknologi luar negeri, yang apabila kita renungkan teknologi adalah aplikasi dari pendidikan sains, bahkan Badan Pengkajian dan Penerapan teknologi, sebagai lembaga Iptek bergengsi yang pernah dipimpin oleh Begawan  Iptek B.J Habibie, dinilai pemerintah cukup dinahkodai oleh seorang sarjana sastra? Dan LIPI yang bertahun-tahun dipimpin oleh pakar teknolog mulai dari Prof. Bahtiar Rivai, Prof. Doddy A. Tisna Amidjadja, Prof. Saman Samadikun, sampai pada Dr. Sofyan Tsauri juga dianggap cukup dikoordinasikan oleh pakar sejarah? Jadi dimanakah letak pendidikan sains di Indonesia, jika kita pun sudah salah langkah dan kurangnya perhatian dalam pengembangan aplikasi pendidikan sains di Indonesia.
Saat ini pun di Indonesia mengalami dikotomi ilmu sains dengan ilmu agama. Lembaga pendidikan yang seharusnya menyatukan kedua ilmu tersebut tetapi pada kenyataannya ada dinding pemisah di antara keduanya. Contohnya saja universitas-universitas Islam Indonesia, fakultas-fakultas yang ada di dalamnya mengkaji hal-hal yang bersifat agamis saja, tidak ada sainsnya, dan universitas-universitas yang bukan Islam, tidak mengkaji masalah keagamaan. Lalu bagaimanakah caranya untuk mencerdaskan orang shaleh atau mensalehkan orang cerdas? Dapatkah kita membayangkan hal ini? Itu artinya pendidikan sains di Indonesia masih pasif, belum menyatu secara terpadu.
Dengan fenomena ini, akhirnya universitas di Indonesia dituntut ada fakultas yang mampu menggabungkan keduanya. Inilah genderang pertama perubahan IAIN menjadi UIN di Indonesia. IAIN Jakarta ini sekarang bertambah dengan fakultas-fakultas yang berhubungan dengan sains dan teknik. Tidak hanya itu juga, universitas yang tersebar di Indonesia pun tidak lupat dengan tuntutan di tambahnya fakultas yang nantinya akan menelurkan SDM-SDM baru yang lebih handal yang akan mengajarkan ilmu sains, yang saat ini sudah terkenal dengan sebutan FKIP (Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan). Dari FKIP inilah lahir sosok baru yang disebut guru, dan di tangan guru pendidikan sains akan menemukan ahlinya. Pesan untuk guru maupun calon guru, saat ini tongkat estafet sains dipegang, harapannya mampu menjadi guru yang profesional agar mampu menerobos dunia persaingan dalam kancah internasional. Tidak hanya sekedar tuntutan profesi dan arena bisnis.
SDM Indonesia, seperti anak bangsa yang bersaing dalam bidang olimpiade sains pun belum mendapat perhatian khusus dari pemerintah, mereka hanya menjadi budak sains belaka tanpa ada aplikasi selanjutnya, padahal mereka adalah aset bangsa ini. Sarjana-sarjana muda produk pendidikan sains, mereka berlari ke luar negeri dan menetap di sana dengan alasan di luar negeri lebih mumpuni, mereka kehilangan tanggung jawab untuk mengembangkan Indonesia.
Ilmu sains yang hidup dan berkembang, yang guritanya telah mampu menembus pelbagai dimensi hidup manusia, secara etis mesti ditundukkan dalam bingkai penghambaan kepada kemanusiaan. Bila tidak ia akan tumbuh secara liar dan memporak-porandakan kemanusiaan itu sendiri. Momentum awal millennium ini adalah saat yang tepat untuk berefleksi tentang persoalan ini dalam konteks Indonesia yang tengah mereformasi  diri memasuki era global.

Paradigma ilmu sains paling awal yang mengesankan adalah penghambaannya pada spiritualitas. Jargon paling nyata yang menggambarkan sikap ini adalahprimum vivere, deinde philosophari (berjuang dulu untuk hidup baru setelah itu berfalsafah). Ilmu sains berada di atas hidup itu sendiri. Dia dipahami sebagai aktivitas mental yang membebaskan jiwa. Ilmu untuk ilmu, untuk rekreasi intelektual menuju kebijaksanaan.
Mengapa ilmu yang sangat indah ini,
yang menghemat kerja dan membuat hidup lebih mudah,
hanya membawa kebahagiaan yang sangat sedikit?
Ilmu yang seharusnya membebaskan kita dari pekerjaan yang melelahkan spiritual
malah menjadikan manusia-manusia budak mesin,
dimana setelah hari melelahkan
kebanyakan dari mereka pulang dengan rasa mual,
dan harus terus gemetar untuk memperoleh ransum
penghasilan yang tidak seberapa.
Jawaban yang sederhana adalah karena kita belum lagi
belajar bagaimana menggunakannya secara wajar
(Albert Einstein)

Lalu apa yang harus kita lakukan dengan semua fenomena ini? Solusinya apapun peran kita laksanakanlah dengan sebaik-baiknya. Untuk pemerintah harus lebih perhatian dengan para aset bangsa dalam dunia pendidikan sains, jangan lupa bagi pemegang sains nikmatilah ilmu sains sebagai taman bermain, jadilah bintang-bintang dalam samudera jagad raya, jangan menjadi budak ilmu yang akan menjadikan  kita penguasa yang dictator, agar penyesalan Einstein di hadapan para belia mahasiswa California Institute of Tecnology di atas menjadi bermakna.

Related Articles

0 komentar:

Posting Komentar

PUSKOMDA NUSRA. Diberdayakan oleh Blogger.

Sample Text

Pages

Theme Support