Selasa, 28 April 2015

dunia dibalik Jendela

“Ini Ibu Budi”
“Ini Ibu Budi”, jawab anak-anak serempak. Dari balik dinding kardus suara mereka terdengar begitu lantang, suara anak-anak didik Ningrum yang berkisar dari umur enam sampai sepuluh tahun. Sementara aku yang di sini mengajarkan tentang ilmu fisika bab energi, anak didikku berkisar antara umur 11 sampai 17 tahun. Mereka semua adalah anak-anak yang putus sekolah, bahkan memang ada yang tidak sekolah sama sekali.
* * *
Ku sipitkan mataku ketika jarum-jarum runcing sinar mentari menerobos masuk melalui lubang dinding kamarku. Ibuku telah pergi mendahuluiku. Ku gendong tas bambu yang mulai rapuh anyamannya, tapi tas inilah yang menampung rezeki untuk mencukupi kebutuhan hidup adik-adik didikku. Bersama yang lain, ku telusuri lorong kota Jakarta. Saat ini aku sedang berdiri di atas kota pusat kemewahan negeri ini. Ku lihat banyak orang lalu-lalang dengan berbagai macam aktivitas. Ada yang sibuk mendorong gerobak, mereka adalah pedagang kaki lima, yang nasibnya beruntung kalau tidak ada razia. Terkadang terjadi adu kekuatan antara aparat dengan para pedagang, dan nasib ibuku ada di sana. Aku hanya bisa tersenyum melihat pemandangan pagi hari di kota Jakarta. Ku alihkan pandanganku di setiap sudut penjuru kota, mereka berebut peluang untuk mendapatkan beberapa lembar rupiah. Kemudian pandanganku terganggu dengan aktivitas sekelompok pemuda, kembali ku berkhayal dengan mimpi-mimpi gilaku. Seandainya aku seperti mereka mungkin saat ini aku juga sibuk membawa buku-buku diktat, mengumpulkan tugas, berebut jalan menuju kampus, dan tas yang ada dibalik punggungku mungkin bukan tas anyaman bambu tapi tas kulit yang mahal harganya, akh…segera ku buang jauh-jauh pikiranku yang kacau karena kalut dengan mimpi-mimpi. Pandanganku lurus ke depan, ku tatap barisan panjang. Mereka memakai tas yang sama persis dengan yang ada di punggungku. Terus ku tatap mereka satu persatu hingga berhenti tepat dengan orang di depan mataku, Ningrum! segera ku tersadar, ternyata aku adalah bagian dari mereka. Rasanya ingin menertawai diri-sendiri. Pekerjaan kami tidak jauh berbeda dengan mereka yang berada di dalam mobil, kami sama-sama mengais rupiah, bedanya hanya mereka berdasi dan kami tidak. HIDUP PEMULUNG!!! Itulah jargon kami, dan kami bangga berprofesi sebagai pemulung. Kami begitu bersemangat karena semangat adalah modal untuk hidup bagi orang-orang seperti kami. Jeli dalam memilih dan memilah sampah. Jika azan berkumandang, kami berhenti mengais sampah sejenak untuk menunaikan shalat, tak lupa kami berdoa agar diberi rezeki yang banyak, karena kami yakin bahwa Allah Maha Penyayang kepada para hamba-Nya. Tak kenal lelah meskipun sang raja siang menampakkan seluruh sinarnya yang panas membakar kulit. Jika senja membentangkan sayapnya di ambang cakrawala, pertanda bahwa kami harus segera pulang. Sebelum pulang, kami mampir di tempat penjualan sampah untuk menjual sampah hasil jerih payah kami. Tidak banyak tujuh sampai sepuluh ribu, tapi kami sangat bersyukur. Itu hasil kotor, karena kami harus setor kepada Bang Brewok, yang telah bermurah hati memberikan kami tempat tinggal meskipun terbuat dari kardus yang ditambal sana-sini.
Aku dan Ningrum adalah sahabat sejak kecil, kami dibesarkan dalam keadaan pas-pasan dan kami sudah kehilangan sosok seorang ayah. Oleh karena itu, ibu kami bekerja banting tulang untuk menghidupi kami. Sejak saat itulah kami mengerti akan kerasnya kehidupan. Kami sudah terbiasa bekerja, mulai dari loper koran, jualan kue keliling kampung milik ibu Ros,  jadi tukang cuci, hingga pemulung, berharap dari uang tersebut dapat ditabung untuk meraih mimpi. Kami bersekolah hingga tamat SMA. Ketika kami mengutarakan niat untuk melanjutkan ke universitas, tidak ada jawaban dari ibu kami, mereka hanya menampakkan wajah pucat kebiruan, dan kami jadikan itu sebagai jawaban. Apalah daya, inilah hidup yang harus kami tempuh, begitu pahit dan membuat kami sesak. Meskipun begitu, kami tetap semangat mengukir mimpi. Sudah menjadi aktivitas rutin kami, setelah shalat maghrib, aku dan Ningrum menjadi guru otodidak, mengajak anak-anak pemulung ke taman-taman ilmu, betapa indahnya belajar tentang membaca, berhitung, dan mengaji, karena memang tidak ada gedung, rumahku berubah menjadi sekolah bagi mereka. Kami mengajar tanpa kurikulum, kami hanya ingin mengamalkan ilmu semampu kami untuk mereka. Kami mengalami kondisi ini, lagi-lagi karena masalah klasik, biaya pendidikan yang melebihi biaya hidup. Diantara mereka ada juga yang sudah tidak memiliki orang tua, berawal dari itu semua kami tegerak hatinya untuk berbagi ilmu dengan mereka.
Malam ini sengaja aku tidak langsung pulang ke rumah, aku dan Ningrum mampir terlebih dahulu ke toko buku loak. Aku membeli buku untuk anak SD, SMP, SMA bahkan mahasiswa, lumayan, masing-masing dapat tiga buah. Setelah selesai, aku dan Ningrum pulang, saat menyusuri jalan pulang, samar-samar kami mendengar suara “Copet…?!!!” Kelompok itu semakin dekat, aku dan Ningrum tidak sempat menghindar dan akhirnya…BRAAKKH… !!!!!
* * *
Perlahan ku buka mata, ku tatap sekeliling ruangan, tak asing lagi, bahwa sekarang aku berada di dalam kamarku sendiri. Buku-buku tersusun rapi layaknya perpustakaan mini. Sudah lima belas jam aku tak sadarkan diri. Terseret motor sejauh dua meter dengan meninggalkan luka yang kini membuatku perih. Karena tidak mampu membayar biaya pengobatan, luka-luka ini cukup di lap menggunakan air hangat dan betadine ala kadarnya.
“Ai, kamu sudah sadar? Syukurlah…” suara Ningrum membuatku kaget. “Hari ini aku sengaja pulang cepat, buat jenguk kamu, oya aku bawakan sesuatu untuk kamu.” Ningrum membuka bungkusan kecil dari tas bambunya.
Wahapaan nihduh… Ningrum makasih banyak ya…ini kan molen kesukaanku.” Dengan rasa bahagia ku peluk sahabat terbaikku itu.
“O…ya, ada yang ingin bertemu sama kamu.” Aku hanya mengerutkan kening.
“Silahkan masuk,” pinta Ningrum. Seorang pemuda muncul dari balik pintu.
Sambil mendekat pemuda tersebut berkata, “Aku mau minta maaf sama kamu, gara-gara aku kamu tidak berangkat kerja dan gara-gara aku juga kamu jadi seperti ini, sekali lagi aku minta maaf, aku harap kamu mau memaafkan aku…aku Zain Albadr Razak, panggil saja Albadr,” Dia mengulurkan tangannya.
“Nesa Maisie, panggil saja Ai.” Jawabku polos.
“Malam ini aku akan jadi guru pengganti, selama kamu masih sakit, sepertinya anak didikmu sudah siap di luar sana.” Sambil menjinjing beberapa buku dia mengintip melalui lubang dinding kamarku.
“Apa?” Aku bingung. Ningrum hanya angkat bahu.
“Maaf ya…aku sudah cerita semuanya sama dia, habis dia nanya terus sih…” Ningrum pergi meninggalkan kami berdua, dia yang mendengar perkataan Ningrum tersipu malu, kemudian kami ke luar, ku tatap anak didikku satu per satu, lengkap dengan alat-alat tulis di tangannya.
“Kakak ini yang sudah ngasih kita semua ini, kita semua seneng banget, kak Ai baik-baik saja kan? Kata kak  Ningrum kak Albadr ini temen kakak dan akan menjadi guru kami nunggu sampai kak Ai sembuh,” cecer Cecep seolah tahu apa yang ada di otakku. Ningrum tersenyum simpul. “Ayo adik-adik duduk yang rapi, kita akan mulai belajar,” kata Ningrum lembut.
“Sekarang kita belajarnya dari sore sampai malam, kakak akan mengajari kalian apa yang kalian ingin tahu, kita akan belajar sambil bermain, setuju??” kata Albadr bijak.
“Setuujuuu…!!!” jawab anak-anak serempak. Aku yang dari tadi berdiri di ambang pintu menyaksikan mereka tiba-tiba merasakan sesuatu yang hangat, yang dengan begitu lembut menyelimuti jiwa yang selama ini beku.
“Ai, aku rasa dia adalah malaikat yang sengaja Allah kirim untuk kita semua, sebenarnya aku tidak kerja, dia datang menemuiku tadi pagi dan dialah yang punya ide tentang semua ini, dia juga membelikan buku ini untuk kita,” Ningrum memperlihatkan buku ‘Mega Try Out untuk Masuk Perguruan Tinggi Favorit’, kita masih punya kesempatan, dia berharap kita mau ikut tes SNMPTN, dia bersedia membantu kita, masih adakah cita-cita di otakmu untuk menjadi seorang ilmuan?? Untuk masalah biaya dia akan membantu mencarikan beasiswa karena dia adalah mahasiswa UI, bagaimana Ai?” Kutatap mata Ningrum yang berbinar-binar, sudah lama sekali tidak pernah ku tatap mata seperti itu, kami terharu dalam pelukan erat, dengan rasa bahagia yangtak terkira ku samber buku itu, kami berebut buku dan tertawa bersama.
Aku tidak akan pernah menyerah!!! Hidup adalah perjuangan dan perjuangan itu tidak akan pernah berhenti sebelum nafasmu terhenti, ku hela nafas, Allah mengizinkan ada takdir yang dapat diubah oleh hambaNya sendiri, karena Allah yakin kalau hambaNya mampu melakukannya, sekarang keputusan ada di tangan kita kawan, apakah kita mau berjuang untuk mengubahnya atau tidak. Jangan berhenti karena bertemu kasempitan, ingat!! Apabila kita menemukan masalah Allah akan mendatangkan kemudahan melalui dua jalan sekaligus, sungguh sempurna! Kini, mimpi itu terukir jelas di depan mataku, ku rentangkan tanganku, ku rasakan semilir angin senja menerpa tubuhku hingga ke relung jiwaku, seakan malaikat berbisik, “Nikmatilah dan syukurilah sayang…” Ku buka mata, ku tatap adik didikku sudah duduk rapi di depan mataku, mereka tersenyum padaku, siap untuk berekreasi. Jika di luar sana adalah dunia ilmu pengetahuan maka aku adalah jendela untuk mereka, akan ku buka selebar-lebarnya, akan ku tunjukkan betapa indahnya dunia di balik jendela, dunia rahasia para ilmuan memecahkan alam semesta, dunia para ilmuan menemukan kajaiban-keajaiban, bintang-bintang dalam samudra jagad raya telah berkonstilasi menghimpun kekuatan untuk segera menunjukkan siapa mereka sesungguhnya. Dengan berdiri semampunya tetap ku tuntun  mereka untuk mengerti arti ‘Dunia di Balik Jendela.’
Dari balik awan kulihat cahaya
Dari balik awan ku dengar jawaban
Dari balik awan ku kejar impianku
Dari balik awan kan ku genggam matahari 
Soundtrack lagu Danias mengalun perlahan, dari seberang ku tatap Albadr dan Ningrum, mereka tersenyum padaku, kristal-kristal embun senja siap mengabdi untuk masyarakat.
Mari Belajar.

Related Articles

0 komentar:

Posting Komentar

PUSKOMDA NUSRA. Diberdayakan oleh Blogger.

Sample Text

Pages

Theme Support