Rabu, 29 April 2015

Kajian ke-Palestina-an bersama Syeikh Fersan Mahmoud Abdallah Khalifah


Sumber: Tim Redaksi
Sumber: Tim Redaksi
Langit belum sepenuhnya tercerahkan ketika jarum jam tepat menunjuk angka 8 pagi waktu setempat. Beberapa hari ini Mataram memang sedang berlangganan hujan. Tidak terkecuali hari Sabtu tanggal 08 Juni 2013 di Masjid Kampus Universitas Mataram -satu-satunya kampus negeri di NTB- matahari masih terhijab awan mendung di saat ianya harus menyinari belahan bumi ini. Halaman masjid masih meninggalkan jejak-jejak hujan yang mengguyur kemarin. Agak basah dan hampir-hampir licin.
Kajian umum ke-Palestina-an yang rencananya akan dimulai pukul 8 terseret menjadi mulai pukul 10 an karena beberapa uzur yang tidak bisa dihindari panitia penyelenggara. Namun, kepastian bahwa kajian ini akan menghadirkan seorang pejuang dari Palestina cukup menjadi alasan para peserta untuk setia menanti kajian selama hampir 2 jam. Tidak banyak awalnya, tapi seiring berjalannya acara peserta mulai berdatangan.
Syeikh Fersan Mahmoud Abdallah Khalifah, seorang pemuda Palestina berusai 25 tahun -tepatnya berasal dari wilayah Tepi Barat- yang sudah merasakan tinggal dalam jeruji besi sejak usia 15 tahun menjadi narasumber kajian umum ini. Tidak tampak kelelahan dari raut mukanya. Waktu kurungan yang hampir satu dasawarsa bahkan terlihat berhasil mengukir sisi ketegasan dari gerak-gerik tubuhnya. Pun sorot matanya, memancarkan kuat aura keteguhan.
Ditemani seorang penerjemah pribumi, Abdallah Khalifah memulai cerita tentang orang-orang Palestina. Tentang kehidupan yang amat sulit untuk menjadi seorang Palestina di negeri Palestina. Sedikit kisah yang dibagi di kajian itu membuat perasaan orang yang mendengarnya bercampur baur menggelayut di hati; biru, haru, sedih, marah, kecewa. Betapa tidak, ternyata menjadi seorang Palestina berarti suka tidak suka harus mengikuti peraturan-peraturan berat dan diskriminasi dari penjajah Israel yang menjarah tanah mereka.
Seorang Palestina yang ingin memenuhi kebutuhan dasar mereka akan tempat tinggal yang layak harus menelan ludah menunggu selama lima tahun untuk memenuhi prosedur administrasi yang menyulitkan dan dibuat-buat oleh penjajah Israel. Pada akhirnya tak jarang pula yang gagal mendapatkan izin pembangunan tempat tinggal. Ini yang bernasib kurang beruntung. Sementara yang dikabulkan perizinannya sebagai orang beruntung juga harus siap sewaktu-waktu Israel tanpa alasan meratakan rumah mereka dengan bulldozer yang harus disewa oleh pemilik yang diratakan rumahnya. Ketidakadilan ini terus berlangsung menimpa mereka, orang-orang Palestina di tanah Palestinanya sendiri. Cerita-cerita ini mengalir tanpa hambatan dari lisan pejuang Palestina tersebut. Mungkin karena kejadian-kejadian ini telah menjadi konsumsi rutinnya setiap hari. Akan tetapi meski kisah ini memilukan, masih ada harapan yang mengintip di balik kesedihan berkepanjangan yang mereka alami. Harapan bahwa suatu saat kelak mereka akan bebas dari penjajahan ini.
Adalah Ummu Kamil, lanjut Abdallah Khalifah, seorang janda yang tinggal di sebuah perkampungan di Tepi Barat. Sudah beberapa kali Ummu Kamil diminta mengosongkan rumahnya untuk kepentingan penjajah Israel, tetapi sang Ummu tidak pernah sudi menyerahkannya kepada penjajah. Sampai suatu ketika, Israel mendatangkan orang paling bejat se-Israel untuk dijadikan tetangga Ummu Kamil. Sudah bisa ditebak apa yang kemudian terjadi. Si ‘tetangga’ barunya mengganngu Ummu Kamil setiap waktu dengan melempar kotoran ke halaman rumah Ummu Kamil. Apakah kemudian Ummu Kamil menyerah? Tidak! Sampai beberapa waktu kemudian datang petugas keamanan Israel dan mengatakan akan membayar berapapun jika Ummu Kamil mau menjual rumahnya.
“Sampai kapanpun, saya tidak akan pernah menyerahkan tanah Palestina ini kepada kalian, walaupun hanya sejengkal!” tantang Ummu Kamil.
Keesokan harinya rumah Ummu Kamil sudah rata dengan tanah. Rumahnya memang hancur. Tapi tidak untuk semangat Ummu Kamil. Ia tetap mendirikan perkemahan untuk tempat tinggal di depan puing rumahnya. Dan ini menjadi simbol perlawanan masyarakat Palestina yang lain untuk tidak menyerahkan begitu saja tanah air mereka. Mereka tanamkan keyakinan, bahwa ini bukan soal berapa harga tanah, akan tetapi berapa harga diri-diri dan jiwa-jiwa seluruh kaum muslimin yang mereka pertaruhkan di bumi para anbiya’ itu.
Sesekali pandangan Abdallah Khalifah menyapu seluruh peserta ketika berbicara, meskipun ia tahu hampir semua peserta tidak pandai memahami bahasanya. Kemudian ia berkata,
“Betapa kuatnya Islam ketika mahasiswa yang hadir disini suatu saat menjadi orang besar sesuai keahlian masing-masing, dan kemudian memperjuangkan Islam di segala bidang.”
Tentang hal ini, ia menceritakan pula bagaimana anak-anak Palestina berpayah menuntut ilmu di tengah kemelut perang yang tak kunjung usai. Bangunan-bangunan sekolah dan kampus-kampus yang tak pernah direnovasi sejak di bombardir bertahun-tahun silam. Bagaimana cerita seorang muslimah yang harus berjalan jauh ke kampus karena harus memutari tembok rasial yang dibangun tentara zionis. Kemudian pada suatu hari ia harus menerima muntahan peluru di tubuhnya karena mencoba melewati jalan pintas ke kampus yang dipenuhi pos-pos penjagaan tentara zionis. Syahid. Mobil ambulance datang empat jam setelah tubuhnya dirongrong mesiu. Namun cerita perjuangan menuntut ilmu ini selalu terdengar membahagiakan ketika semua sekolah selalu berhasil mewisuda tidak kurang dari lima ribu penghafal Al-Qur’an setiap periodenya.
“Jangan pernah menganggap apa yang kalian berikan kepada bangsa Palestina adalah sedekah untuk kami,” kata Abdallah Khalifah di sela-sela penghujung acara.
Bahkan kaum muslimin harus sadar bahwa mereka semua harus bertanggung jawab untuk menghentikan penjarahan dan penistaan yang sedang terjadi di tanah wakaf umat muslim sedunia itu. Satu jengkal saja yang terjarah, maka kaum muslimin wajib mengobarkan perlawanan tanpa terkecuali. Sekali lagi karena Palestina adalah tanah yang secara sah dimiliki diwakafkan kepada kaum muslimin oleh ‘Umar bin Khaththab dahulu. Maka, semoga kita tidak lebih rela bumi Palestina ditinggali zionis Israel daripada saudara-saudara seiman Palestina kita sendiri.
Oleh:Henny Ratnaningsih
{Staf akhwat Komisi A}

Related Articles

0 komentar:

Posting Komentar

PUSKOMDA NUSRA. Diberdayakan oleh Blogger.

Sample Text

Pages

Theme Support